Ahad, Mei 31, 2009

Hidup Matinya Sang Pengarang

Esai-esai ini dihadirkan karena perlu dan penting, bahwa wacana klasik sudah sepantasnya dimasyarakatkan, agar polemik tentang kepengarangan tidak hanya menjadi wacana yang esoterik. Yang dibedah dalam buku ini adalah wilayah anatara dua ekstrem dengan berbagai nuansanya, yaitu: antara pengarang sebagai jenius dan sosok agung di satu pihak, dan pengarang yang harus mundur dari pentas, digantikan oleh kritikus, bahkan pembaca. Siapkah kita terima pergantian peran ini? Bila pengarang kita gusur demi kemandirian teks atau "otonomi sematik", sebalikna diharapkan pengarang perempuan yang membisu di dalam sejarah ("history") tampil dengan "herstory".

Di sini kita telusuri pertarungan pendapat yang belum tuntas. Pilihan karangan-karangan klasik dalam buku ini pantas dibaca oleh para seniman, khususnya penyair, dramawan dan esais; peminat, penikmat, pengamat dan kritikus; mereka yang bergumul dengan dunia sastra, filsafat dan kebudayaan. Peluru-peluru tajam tersedia untuk menembus ke jantung pemahaman kreativitas dalam alur sejarah dan waktu.

Lihat isi di dalamnya:
http://books.google.com.my/books?id=I7DjCkM_MS0C&pg=PP1&dq=Hidup+matinya+sang+pengarang

Senyum Untuk Calon Penulis

Judul buku ini sangat menarik dan sangat spesifik dalam menentukan siapa kira-kira target pembaca buku ini. Dari judulnya yang spesifik pembaca akan segera mengetahui apa kira-kira yang terdapat dalam isi buku ini dan berharap bahwa buku ini akan menjawab berbagai pertanyaan yang selalu muncul dalam benak seseorang ketika ia akan menulis.

Dalam benak seorang yang ingin menulis biasanya akan selalu timbul pertanyaan-pertanyaan seperti : Mengapa harus menulis ? apa yang harus ditulis?, untuk siapa, dimana, dan bagaimana menulis dengan baik?. Buku kumpulan tulisan dari penulis sekaligus penyair senior Eka Budianta ini mencoba untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan diatas. Buku ini memang bukan buku panduan praktis bagaimana menulis dengan benar. Lebih dari itu! Buku ini mencoba mengajak , memotivasi dan menginspirasi siapa saja yang ingin agar tulisan-tulisannya lebih menyala seperti bermacam-macam lampu, dapat mengeluarkan berbagai aroma dan bau, menyalurkan bermacam perasaan takut, memberi semangat, mengejutkan bahkan membuat muntah pembaca.

Buku yang terdiri dari 25 tulisan ini dirangkai dari berbagai tulisan Eka Budianta dalam setiap makalah yang disajikannya diberbagai seminar dan diskusi dalam kurun waktu 4 tahun (1999-2002). Berbagai macam tema seputar dunia tulis menulis, buku, lingkungan hidup, sastra dan lain-lain mewarnai tulisan-tulisannya dalam buku ini. Dalam salah satu tulisan yang judulnya diangkat menjadi judul buku ini :Senyum untuk Calon Penulis. Eka menyampaikan beberapa pokok masalah dalam menulis.

Pokok pertama adalah : Selalu Ingat : Mengapa Anda menulis? Di sini Eka menegaskan niat dalam hati dalam menentukan tujuan menulis adalah hal yang paling penting dalam karya sastra. Bukan teknik, keindahan bahasa, plot, tetapi intinya. Isi cerpen, isi novel, isi puisi, itulah yang bicara (hal 195).

Kedua : Pentingkah: Kapan Anda Menulis? Bagi Eka kapan menulis bukanlah masalah, yang lebih penting adalah melihat isi atau pesan setiap pengarang. Bagi penulis-penulis besar pesan-pesan yang diampaikan biasanya akan abadi. Drama-drama Shakespeare tetap abadi hingga kini Walmiki dengan Epos Ramayana telah menulisnya 2500 tahun lalu di India. Dari segi usia kapan mulai menulis pun tak jadi persoalan asal tulisannya mengandung nilai-nilai abadi maka tulisannya akan bertahan lama. Kartini, Chiril Anwar, Moh. Hatta menulis di usia yang sangat muda namun apa yang ditulisnya tetap dibaca orang hingga kini.

Ketiga: Jiwa Merdeka dan Gembira. Modal utama seorang pengarang adalah jiwa yang merdeka. Dengan bebas berpikir dan berimajinasi, setiap penulis dapat melahirkan karya-karyanya. Namun Eka mengingatkan bahwa semakin besar kemerdekaan seorang penulis maka semakin besar juga tanggung jawabnya dan semakin perlu hati-hati.

Keempat : Bagaimana Menulis dan Apa isinya. Di sini Eka menceritakan pengalamannya menjadi asisten HB Jasin dalam menyeleksi karya-karya sastra. Walau suatu karya dinilai bagus oleh HB Jasin namun tak berarti karya tersebut bisa dipublikasikan, menurut Jassin seorang penulis membawa tugas sebagai \"guru\" bagi pembacanya, melalui tulisan, manusia bisa membongkar pikiran orang lain. Tapi bila penulis berhasil membongkar, tetntu penulis harus bisa merapihkannya.

Jika membaca semua tulisan yang terdapat dalam buku ini, akan terlihat bahwa buku ini sangat kaya akan cakupannya, bahasanya mudah dimengerti karena ditulis dengan gaya personal, tidak hanya persoalan tulis menulis yang dibahasnya namun mencakup bidang sastra, budaya, lingkungan, politik, dan lainnya. Dari segi keterbacaannya buku ini sangat mudah untuk dipahami karena Eka menulisnya dengan gaya personalnya yang khas.

Kesimpulannya, buku yang diberi pujian oleh 33 tokoh yang beragam profesinya ini setidaknya bisa memberikan inspirasi bagi mereka yang bergerak dalam dunia tulis menulis. Kritik terhadap buku ini ada pada pemilihan judul bukunya \"Senyum untuk Calon Penulis\", judul buku ini seolah membatasi bagi siapa buku ini diperuntukkan (calon penulis), padahal jika membaca seluruh tulisan yang terdapat dalam buku ini, buku ini bukan hanya untuk calon penulis saja melainkan bagi siapa saja yang berprofesi dan bergerak dalam dunia literer.

Rabu, Mei 20, 2009

Nak Jadi Jadi *Baru*

Dr. HM Tuah Iskandar al-Haj
RM10.00
Karya Bestari

SETIAP perbuatan yang kita lakukan adalah tanggungjawab kita sendiri. Sebelum melakukan sesuatu, fi kir dahulu kesan dan akibat daripada perbuatan kita itu.

Kali ini, DR. HM TUAH ISKANDAR al-Haj mengajak kita berfi kir dahulu sebelum melakukan sesuatu di dalam buku NAK JADI JADI dengan menggunakan pendekatan yang amat santai.

NAK JADI JADI mengajak kita berfikir dan perlukan usaha yang lebih untuk mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan nampak hasilnya jika hanya pandai bercakap tetapi tiada usaha yang dilakukan untuk mencapai target tersebut. Setiap orang ada kelebihan masing-masing. Namun, ragam manusia sentiasa memberi alasan tiada kebolehan untuk melakukan sesuatu perkara.

Berhentilah memberi alasan kerana kita sebenarnya bukan tiada kelebihan tetapi tiada kekuatan untuk melakukan perkara tersebut. Jadi, besarkan kekuatan atau yang lebih tepat matlamat anda. Insya-ALLAH anda akan berjaya.

Beli di:
http://www.alaf21.com.my/page22.htm

Rabu, Mei 13, 2009

Ulama Besar dari Patani

Ahmad Fathy al-Fatani
RM45.00
Penerbit UKM

Negeri Patani termasuk antara beberapa buah negeri di Semenanjung Melayu yang melahirkan ramai para ulama. Nama-nama ulama dengan laqab al-Fatani ini cukup lumrah ditemui, apa lagi kalau kita rajin menyemak 'kitab-kitab kuning' karangan mereka.

Buku ini mengandungi sejumlah 40 tarjim ulama-ulama besar negeri Patani dalam jarak waktu antara penghujung abad ke-18 hingga penghujung abad ke-20, dimulai dengan tokoh pertama Syeikh Daud al-Fatani (wafat pada 1847) dan diakhiri dengan Ayah Dir (wafat pada 1991).

Sepanjang tempoh dua abad lebih sedikit ini, negeri Patani menyaksikan kemunculan ramai tokoh-tokoh ulama terkemukanya yang datang silih berganti mengambil tempat dan memainkan peranannya yang sangat besar dalam sejarah negerinya, tak hanya dalam bidang agama, akan tetapi juga dalam bidang ilmu, pemikiran, politik dan pembentukan sistem nilai dan budaya hidup masyarakatnya.

Patani (atau selatan Thai) hari ini lebih dikenali dari sisi-sisi negatif, tempat orang melepas nafsu, lubuk judi, sabung ayam mahupun laga orang. Dan pelbagai tanggapan negatif lagi.Sememangnya gambaran sedemikian amat mengecewakan orang Patani. Namun orang Patani harus menerimanya.

Jika dahulu Patani lebih tersohor sebagai pusat pendidikan Islam Nusantara yang dipelopori para ulama dan institusi pondoknya sejak abad ke-18 lagi. Kini era globalisasi dan pemodenan yang datang samaada dari Bangkok mahupun dari luar telah meminggirkan terus institusi pondok Patani dari arus perdana serantau sebagai tempat percambahan ilmu.

Hari ini kita tidak mendengar lagi akan karangan-karangan kitab baharu dari ulama Patani. Kering atau seolah-olah ulama Patani sudah berhenri tinta penanya. Bahkan Patani sebagai serambi Mekah semakin dilupakan. Mujur kitab-kitab 'kuning' peninggalan ulama berlaqab al-Fathani masih ditelaah sampai hari,sekurang-sekurangnya menjadi penyambung dalam megekalkan corak pemikiran Islam masyarakat Patani dari terhakis atau sekarang sedang dikikis oleh unsur-unsur tidak cocok dengan Islam.

Atas rasa tanggungjawab, penulis sejarah asal Patani, Ahmad Fathy al-Fatani menjelajah ke pondok-pondok dan melacak dari pelbagai sumber untuk menyusun sebuah buku yang menghimpunkan 15 biodata dan 25 lagi secara ringkas ulama Patani dalam rentang waktu antara penghujung abad ke-18 hingga akhir abad ke-20. Beliau pernah memimpin majalah Pengasoh sebagai editor dan menulis banyak makalah tentang Patani di media cetak.

Usahanya amat istimewa buat peminat sejarah Patani dan sangat penting untuk tatapan generasi baru Patani yang semakin hilang identitinya. Dalam buku terdahulu, Pengantar Sejarah Patani, Ahmad Fathy menjelaskan:" Di Patani saya perhatikan ramai anak-anak muda yang tidak tahu asal muasal mereka lagi. Kerana sudah terlalu lama berada di bawah Siam dan hidup dalam acuan budayanya, orang Patani kini sudah kehilangan minda dan citra Melayunya."

Buku yang meletakkan Syeikh Daud al-Fatani, disusunan pertama amat molek benar kerana jasanya dalam mengembang syiar Islam di Nusantara menerusi penulisan kitab-kitab jawi walaupun bergerak jauh di tanah Hijaz. Keberkatannya tercermin melalui kitab-kitabnya masih tidak jemu-jemu ditadah hingga kini.

Antara kitab-kitab yang masih ditadah ialah Munyah al-Musolli, Furu' al-Masail dan Minhaj al- Abidin. Keindahan sastera dapat dirasai akan karangannya. Misalnya;

"Maka aku pungut akan permatanya dan aku tanggalkan kulitnya supaya terbuka hati yang suka beribadah dan menggemarkan tiap-tiap orang yang abidin yakni yang bersungguh-sungguh pada ibadah dan menolong bagi kebanyakan orang mukmin."( Hidayah al-Muta'alim)

Patani bukan sahaja melahirkan ulama penulis kitab atau ulama yang hanya bergiat di pondok semata-mata, bahkan pernah melahirkan ulama yang berfikiran jauh dalam menjamin survival orang-orang Patani di Thailand. Siapa yang tidak kenal dengan Tuan Guru Haji Sulong? Ulama yang terkenal dengan tuntutan tujuh perkara itu terhadap kerajaan.

Tuntuntannya itu masih relevan hingga hari ini. Tidak seperti kebanyakan ulama lain, beliau boleh dianggap tokoh pembaharuan dalam masyarakat Patani terutama pendidkan. Beliau telah menubuh madrasah yang lebih bersistem seperti sekolah moden termasuk adanya aktiviti kawad atau perbarisan. Ia sesuatu yang asing kepada masyarakat masa itu yang begitu menebal dengan tradisi pondok.

Walau bagaimanapun, sekolah tersebut terpaksa "katup" atas arahan kerajaan Thai kerana prejudis niat Haji Sulong. Kehilangan secara misteri selepas bertemu dengan pegawai polis di Songhkla menjadi titik tolak kejadian kehilangan para ulama dan pemimpin Islam hingga hari ini. Sejak itu sampai hari ini masyarakat Patani kurang percaya kepada siasatan kerajaan Thai. Terdekat seperti kehilangan peguam Muslim, Somchai Neelhaipaijit.

Selain itu buku ini juga memuat tokoh yang cukup kontroversi sehingga menimbul perpecahan dikalangan masyarakat sampai wujud dua aliran masjid di Patani. Ulama yang batang tubuhnya digelar Haji Abdullah Bendang Kebun terkenal dengan kelantangan, tegas dan berani. " Kalau ia yakin pandangannya benar, ia bersedia menghadapi lawan, walaupun sampai bertarik baju,'' tegas seorang anak muridnya.

Ahmad Fathy al-Fatani, editor majalah Pengasuh banyak menulis tentang Patani dalam majalah Pengasuh dan Peristiwa (kedua-duanya terbit di Kota Bharu, Kelantan). Sebelum menghasilkan Ulama Besar dari Patani, beliau telah menulis Pengantar Sejarah Patani yang diterbitkan oleh Pustaka Darussalam, Alor Setar, pada 1994. Edisi Jawi buku Ulama Besar dari Patani ini terbit pada 2001.

Beli di:
http://pkukmweb.ukm.my/~penerbit